Temu Inklusi, 8 Mei 2025 — Kesempatan kerja difabel di sektor formal masih rendah, disebabkan masih banyak hambatan yang dihadapi difabel pencari kerja. Selain hambatan soal stigma yang masih kuat, diskriminasi, aksesibilitas yang tidak sesuai dengan kebutuhan di tempat kerja, lemahnya implementasi kebijakan afirmatif, terbatasnya akses pendidikan dan pelatihan kerja. Hal tersebut disampaikan M. Joni Yulianto, Direktur Sasana Inklusi dan Gerakan Advokasi Difabel (SIGAB) Indonesia dalam paparannya pada webinar ke 13 program Gerakan Optimalisasi Organisasi Difabel (GOOD) dan bagian dari rangkaian diskusi tematik ke 2 di Temu Inklusi 6.
Di diskusi tematik yang bertajuk Peran Organisasi Difabel Mendorong Akses Pekerjaan Untuk Difabel, Joni menjelaskan kebijakan-kebijakan yang sudah ada, seperti beberapa diantaranya UU No. 8/2016, PP No. 60/2020, Permenaker No.21/2020, belum kuat untuk mendorong implementasi dalam upaya meningkatkan serapan tenaga kerja difabel di sektor formal.
“Satu tantangan lainnya berkaitan dengan kebijakan, peran strategis OPD belum diatur secara spesifik dalam ULD Ketenagakerjaan,” tandasnya.
Padahal, lanjut Joni, ada banyak peran yang bisa dilakukan organisasi difabel sebagai platform yang memiliki fungsi utama untuk advokasi, melakukan pendataan, pelatihan, dan membangun kemitraan. Sebagaimana dimandatkan dalam UU Disabilitas dan PP No. 70/2019 tentang Perencanaan, Penyelenggaraan, dan Evaluasi terhadap Penghormatan, Pelindungan, dan Pemenuhan Hak Penyandang Disabilitas.
Di satu sisi, Joni juga berpandangan bahwa dalam peran strategis yang diemban organisasi difabel, juga ada tantangan yang perlu menjadi pendiskusian serius. Keterbatasan sumberdaya manusia dan pendanaan. Serta belum semua organisasi difabel berjejaring atau terhubung dengan pemerintah dan pihak swasta.
“Sehinnga, rekomendasinya, selain perlu adanya kebijakan afirmatif bagi organisasi difabel, dukunagn pendanaan, peningkatan kapasitas, pemetaan keberadaan dan peran organsiasi difabel” tuturnya.
Abdul Mujib, ketua Forum Komunikasi Difabel Cirebon (FKDC) mengamini hal tersebut. Menurutnya capaian serapan tenaga kerja difabel yang mencapai 651 difabel tidak terlepas dari kontirbusi organsiasi difabel. Dalam proses advokasi, dia menjelaskan FKDC melakukan advokasi terhadap pemerintah daerah dengan memberikan perspektif tentang difabel, khususnya ULD Ketenagakerjaan. Dari perspektif yang sama, FKDC juga melakukan pendataan dan melakukan upaya meningkatkan kapasitas difabel pencari kerja.
“Peran organisasi difabel itu ya ke atas, artinya ke Pemda iya, ke difabelnya juga iya,” tandasnya.
Mujib juga meceritakan situasi di awal advokasi yang dilakukannya. Masih banyak tantangan, baik dari individu difabelnya, seperti tidak adanya dukungand ari orangtua difabel pencari kerja. Selain itu tantangan lainnya ada pada penyedia lapangan pekerjaan, terkait dengan persyaratan yang tidak memberikan afirmasi bagi difabel.
“Dari tantangn itu, FKDC misal melakukan konseling ke difabel dan keluarga. Terus terkait persyaratan dari perusahaan, kami beraudiensi bersama dengan ULD Ketenagakerjaan,” imbuhnya.
Mujib juga berharap, praktik baik kabupaten Cirebon dalam memberikan akses lapangan kerja bagi difabel jadi pelajaran bersama untuk lebih mengembangkan dan jadi referensi sebagai upaya untuk memastikan akses kerja yang benar-benar mengakomodir difabel.[]
Narahubung:
Abdul Mujib (Ketua Panitia Lokal Temu Inklusi ke 6)- 0852-1099-9191