Pergerakan difabel di Indonesia akhir-akhir ini memperlihatkan kemajuan yang cukup signifikan. Pada tataran regulasi, Undang-Undang (UU) No. 8 Tahun 2016 tentang Penyandang Disabilitas telah mengubah paradigma charity ke paradigma hak asasi manusia (human rights), menuntun perluasan paradigma dari sekedar model medis rehabilitatif ke model sosial, dan mendukung partisipasi difabel dalam perencanaan maupun praktik pembangunan. Setelah empat tahun Undang-Undang Disabilitas disahkan, beberapa peraturan pelaksana menyusul diundangkan, di antaranya Peraturan Pemerintah (PP) No. 52 Tahun 2019 tentang Penyelenggaraan Kesejahteraan Sosial bagi Penyandang Disabilitas; PP No. 70 Tahun 2019 tentang Perencanaan, Penyelenggaraan dan Evaluasi terhadap Penghormatan, Pelindungan, dan Pemenuhan Hak Penyandang Disabilitas; PP No. 13 Tahun 2020 tentang Akomodasi yang Layak untuk Peserta Didik Penyandang Disabilitas; PP No. 39 Tahun 2020 tentang Akomodasi yang Layak untuk Penyandang Disabilitas dalam Proses Peradilan; PP No. 42 Tahun 2020 tentang Aksesibilitas terhadap Permukiman, Pelayanan Publik, dan Pelindungan dari Bencana bagi Penyandang Disabilitas; PP No. 60 Tahun 2020 tentang Unit Layanan Disabilitas Bidang Ketenagakerjaan; dan Peraturan Presiden (Perpres) No. 68 Tahun 2020 tentang Komisi Nasional Disabilitas (KND). Terbitnya berbagai regulasi tersebut menjadi pertanda kesiapan Pemerintah Republik Indonesia untuk mewujudkan inklusi difabel pada bidang perlindungan sosial, perencanaan pembangunan, pendidikan, hukum dan keadilan, serta perumahan dan fasilitas publik. Hal ini sejalan dengan Konvensi PBB tentang Hak Penyandang Disabilitas (UNCRPD) yang telah diratifikasi oleh Pemerintah melalui UU No. 19 Tahun 2011 dan Tujuan Pembangunan Berkelanjutan (SDGs).
Di tingkat lokal, beberapa daerah, baik provinsi maupun kabupaten/kota—termasuk Pemerintah Kabupaten Situbondo, Jawa Timur, yang akan menjadi tuan rumah Temu Inklusi Nasional 2023—juga telah memiliki peraturan daerah tentang difabel dan Roadmap Situbondo Inklusif, didukung dengan penganggaran yang lebih partisipatif dan responsif difabilitas. Semuanya merupakan praktik baik yang harus diapresiasi dan perlu terus diperluas.
Sementara itu, di level grassroots, gerakan difabilitas juga terus menguat dan meluas. Gerakan difabilitas tidak lagi sebatas di Jawa, melainkan telah bergerak ke berbagai daerah di tanah air, dari Aceh hingga ke ujung Papua. Organisasi-organisasi difabel maupun organisasi masyarakat sipil yang konsern pada isu difabilitas juga terus tumbuh. Mereka memperjuangkan inklusi difabilitas dari tingkat terkecil, desa, hingga tingkat nasional. Capaian atau kemenangan-kemenangan kecil hingga besar telah diraih dan pembelajaran dari sejumlah praktik baik itu telah dihimpun dan dibagi ke kalangan yang lebih luas. Untuk terus menjaga keberlanjutan gerakan para aktor inklusi difabel, Temu Inklusi Nasional akan kembali diadakan pada tahun 2023 dengan mempertemukan pegiat inklusi difabel di seluruh Indonesia.


















