Difabel di desa menghadapi berbagai hambatan struktural dan kultural: minimnya akses terhadap layanan dasar, kurangnya keterlibatan dalam pengambilan keputusan desa, serta pandangan karitatif yang mereduksi difabilitas sebagai beban sosial. Ditambah, belum semua pemerintah desa memiliki pemahaman dan regulasi yang mendukung pemenuhan hak-hak difabel secara berkelanjutan.
Regulasi nasional melalui Kepmendesa PDTT No. 518/2024 kini menjadi acuan utama dalam fasilitasi desa inklusif sebagai bagian dari pencapaian SDGs. Dokumen ini menegaskan pentingnya pembangunan desa yang setara dan menghargai keberagaman.
Namun di sisi lain, tantangan masih ada. Belum semua daerah memiliki regulasi spesifik tentang desa inklusif. Alokasi anggaran untuk mendukung kegiatan difabel di desa masih terbatas dan tingkat pemahaman aparatur desa terhadap konsep inklusi belum merata.
Sejak 2014, SIGAB Indonesia mulai mengadvokasi difabel di desa. Momentumnya saat itu, melalui Even 2 tahuan Bernama Temu Inklusi. Dari proses advokasi yang dilakukan, menghasilkan 9 indikator desa inklusi yang kini telah diimplementasikan di 41 desa dampingan di seluruh Indonesia. Seiring dengan perkembangan dan proses advokasi yang terus berjalan, pada 2024, SIGAB mendorong pengembangan Indikator Desa Inklusif (IDI) menjadi 11 indikator.
Dampaknya nyata dari advokasi yang dilakukan SIGAB antara lain: Terbentuknya Kelompok Difabel Desa (KDD)/Kelompok Difabel Kalurahan (KDK yang saat ini legalitasnya bagian dari Lembaga Kemasyarakatan Desa, serta memperoleh anggaran dan terlibat dalam ruang-ruang musyawarah desa. Pemerintah desa mulai bergeser dari pendekatan karitatif ke pendekatan pemenuhan hak. Aksesibilitas fisik dan nonfisik mulai ditingkatkan, seperti pembangunan ramp dan penyediaan informasi inklusif. KDD aktif membangun jejaring lintas sektor, termasuk dengan pihak swasta.