LATAR BELAKANG
Indonesia adalah negara yang kaya akan keberagaman, termasuk agama, suku, adat, budaya, dan latar belakang sosial lainnya. Keragaman ini merupakan modal sekaligus tantangan besar bagi negara ini. Dengan falsafah ‘bhinneka tunggal ika’, kita telah melalui masa ketika semua kekuatan bangsa bersatu untuk meraih kemerdekaan dan menjaga demokrasi agar terus berkembang. Sebagai bangsa, kita juga telah belajar untuk menjaga keragaman dan merayakan perbedaan.
Penyandang disabilitas atau difabel adalah bagian dari kebhinnekaan ini. Seperti halnya agama, suku, adat, dan identitas lainnya yang beragam, difabel adalah bagian penting dari keragaman yang harus dipahami, dirangkul, serta dijaga kesetaraannya dalam kepentingan, aspirasi, dan hak mereka. Oleh karena itu, mewujudkan dan memperkuat komitmen sebagai negara yang ‘inklusif’ sangat penting untuk direalisasikan.
Upaya negara dalam mewujudkan inklusi dan kesetaraan hak difabel telah ditegaskan melalui berbagai kebijakan nasional dan lokal. Setelah meratifikasi Konvensi PBB tentang Hak Penyandang Disabilitas melalui Undang-Undang nomor 19 tahun 2011, Indonesia mengundangkan Undang-Undang Nomor 8 tahun 2016 tentang penyandang disabilitas. Undang-undang ini, beserta aturan pelaksanaannya, menandai babak baru di mana negara mengakui isu dan kepentingan difabel sebagai isu hak asasi manusia dan pembangunan lintas sektor. Aturan tersebut sejalan dengan sejumlah komitmen global, di antaranya adalah Sustainable Development Goals (SDGs) atau Tujuan Pembangunan Berkelanjutan (TPB) yang salah satu prinsipnya adalah ‘no one left behind’ atau tiada satu pun yang tertinggal.
Kendati demikian, memastikan pembangunan yang benar-benar inklusif dan menghadirkan pemenuhan hak bagi difabel masih menjadi tantangan. Di tengah kemajuan sumber daya manusia dan pertumbuhan ekonomi beberapa tahun terakhir, kesetaraan bagi difabel masih tertinggal dan terpaut jauh perkembangannya. Kesenjangan akses terhadap pendidikan, ketenagakerjaan, layanan publik, hingga akses dan jaminan kesehatan berkualitas masih menjadi tantangan yang memerlukan komitmen berbagai pihak. Pun di sektor hukum dan keadilan serta partisipasi politik. Belum lagi ancaman atas dampak perubahan iklim, serta transisi energi yang perlu diukur dampak, manfaat, serta peluang keterlibatan difabel. Hal ini memerlukan ruang dialog yang mempertemukan berbagai pihak untuk menghadirkan solusi untuk semakin menghadirkan pembangunan yang inklusif.
Sejak pertama kali diselenggarakan pada tahun 2014, Temu Inklusi telah menjadi wadah strategis bagi para pemangku kepentingan – organisasi masyarakat sipil, komunitas difabel, pemerintah, akademisi, dunia usaha, media, serta pemangku kepentingan lainnya untuk berbagi pengalaman, membangun sinergi, serta merumuskan solusi dan rekomendasi untuk tantangan inklusi di Indonesia. Setiap penyelenggaraan Temu Inklusi selalu menghadirkan refleksi atas perjalanan mewujudkan kesetaraan dan keadilan, serta mengukuhkan komitmen untuk mempercepat perubahan.
Pada tahun 2025, Temu Inklusi akan diselenggarakan dengan tema: “Komitmen, Sinergi, Aksi dan Inovasi Pembangunan Inklusif Difabel untuk Indonesia Emas 2045”. Tema ini menegaskan bahwa inklusi bukan hanya sebuah tujuan, melainkan proses berkelanjutan yang membutuhkan keterlibatan seluruh elemen bangsa. Dengan menjadikan kebhinnekaan sebagai sebuah fondasi, Temu Inklusi 2025 mendorong sinergi lintas sektor untuk menerjemahkan komitmen ke dalam aksi nyata yang inovatif. Melalui forum ini diharapkan lahir berbagai inisiatif baru yang mendukung kebijakan, praktik, serta ekosistem yang mendukung terwujudnya masyarakat yang inklusif.
URGENSI TEMU INKLUSI
Temu Inklusi adalah agenda rutin dua tahunan sebagai ruang berbagi, berjejaring dan konsolidasi gerakan difabel dalam mendorong terwujudnya Indonesia yang inklusif. Diinisiasi oleh SIGAB Indonesia (Sasana Inklusi dan Gerakan Advokasi Difabel Indonesia) dan didukung sejumlah organisasi gerakan difabel, organisasi masyarakat sipil, mitra pembangunan dan pemerintah sejak tahun 2014. Forum ini selalu menghasilkan rekomendasi bagi Pemerintah Pusat hingga Daerah untuk mengupayakan inklusi difabilitas dalam pembangunan. Salah satu hasil nyatanya adalah konsep dan indikator DESA INKLUSIF yang kemudian menjadi kenyataan di mana hingga saat ini sudah lebih dari 157 desa yang tersebar di 10 kabupaten di 5 provinsi telah menjadi desa inklusif. Temu Inklusi juga telah menjadi platform yang konsisten mewadahi ruang berbagi hingga lahirnya kebijakan dan inisiatif nyata untuk menyelenggarakan akses terhadap keadilan yang inklusif difabel.
Dalam satu dekade terakhir, upaya menuju masyarakat inklusif di Indonesia telah mengalami perkembangan yang signifikan. Berbagai kebijakan nasional mulai mengakomodasi prinsip-prinsip inklusi, dan kesadaran publik terhadap hak-hak kelompok difabel semakin meningkat. Namun, tantangan struktural masih menghambat realisasi penuh inklusi di berbagai sektor, seperti pendidikan, ketenagakerjaan, layanan publik, serta partisipasi sosial dan politik. Kesempatan yang setara masih belum sepenuhnya terwujud, sementara kesenjangan akses terhadap layanan dasar dan diskriminasi masih menjadi realitas yang dihadapi oleh difabel dan kelompok rentan lainnya.
Tahun 2025 merupakan momen krusial karena Indonesia semakin mendekati target Indonesia Inklusif 2030. Diperlukan akselerasi dalam penerapan kebijakan inklusi agar perubahan yang telah diinisiasi dapat menghasilkan dampak yang lebih luas dan berkelanjutan. Sebagaimana tercantum dalam Rencana Pembangunan Jangka Panjang Nasional (RPJPN), cita-cita menuju Indonesia Emas 2045 akan diwujudkan dengan di antaranya mengedepankan nilai inklusi sosial, termasuk bagi masyarakat difabel. Temu Inklusi 2025 menjadi ruang strategis untuk mengonsolidasikan komitmen, memperkuat sinergi lintas sektor, serta mendorong inovasi dalam mewujudkan masyarakat inklusif berbasis kebhinnekaan.
Lebih dari sekadar forum diskusi, Temu Inklusi 2025 dirancang sebagai ruang aksi, di mana para pemangku kepentingan dapat berbagi praktik baik, merancang solusi kolaboratif, serta membangun jejaring yang lebih kuat untuk memastikan bahwa inklusi tidak hanya menjadi wacana, tetapi juga gerakan nyata yang berdampak. Dengan melibatkan berbagai aktor, mulai dari komunitas difabel, pemerintah, akademisi, dunia usaha, hingga media, Temu Inklusi 2025 bertujuan untuk mempercepat langkah menuju kebijakan yang lebih inklusif dan sistem yang lebih responsif terhadap keberagaman kebutuhan masyarakat.
Tanpa sinergi yang kuat dan aksi yang konkret, target Indonesia Inklusif 2030 akan sulit tercapai. Pun ‘Indonesia Emas 2045’, akan ternoda jika proses pembangunan tak memastikan ‘no one left behind‘ dan ‘inklusif’. Oleh karena itu, urgensi Temu Inklusi 2025 tidak hanya terletak pada upaya menjaga momentum, tetapi juga pada kebutuhan mendesak untuk memastikan bahwa inklusi menjadi bagian integral dari pembangunan bangsa, selaras dengan nilai-nilai kebhinnekaan yang menjadi kekuatan Indonesia.