Oleh: Zaehol Fatah
(Dosen Biasa Universitas Ibrahimy Situbondo, Kaum S3TV)

Sudah satu Abad lebih Pondok Pesantren Salafiyah Syafi’iyah Sukorejo Situbondo (Pesantren Sukorejo) mengarungi perjuangan. Banyak peristiwa besar yang ditorehkan dalam lembar-lembar rekam jejak kehidupan berbangsa dan bernegara. Di antara Peristiwa Besar di Pesantren Sukorejo yaitu tahun 1983 dilaksanakan ‘Musyawarah Nasional Alim Ulama’ yang mendeklarasikan hubungan Pancasila dan Islam. Menerima Asas tunggal Pancasila pada tahun 1984 melalui ‘Muktamar NU Ke-27’. Menjadi tempat ‘Muktamar Pemikiran Islam’ di tahun 2008. Kemudian menjadi Pelopor Pesantren yang mempunyai dukungan kepada Kesastraan dengan digelarnya ‘Muktamar Sastra’ tahun 2018.

Dan pada 31 Juli 2023 sampai dengan 2 Agustus 2023 menjadi tempat ‘Temu Inklusi Nasional ke-5’ yang menjadi Musyawarah dan Seminar Nasional untuk melahirkan rekomendasi-rekomendasi keberpihakan kepada masyarakat difabel dalam kebijakan Pemerintah Republik Indonesia.

Hal ini sontak membuat banyak mata terbelalak melihat ke seantero Pesantren Sukorejo, tercengang dan heran bahwa Pesantren punya kepedulian kemanusiaan, memberikan uluran tangan terbuka untuk menyambut, yang kemudian ditempati jiwa-jiwa dan pikiran-pikiran yang melahirkan kesepakatan nasional bagi kaum difabel. Herannya, KHR. Ahmad Azaim Ibrahimy sebagai Pengasuh Pesantren baru menerima pengajuan sekitar dua pekan sebelum pelaksanaan. Tentu ini menandakan kesigapan dan kekuatan perangkat Pesantren untuk melaksanakan kegiatan Nasional.

Gegap-gempita auditorium Pondok Pesantren Salafiyah Syafi’iyah Sukorejo Situbondo (01/08) demikian menggemuruh. Para peserta Temu Inklusi Nasional #5 menyambut kedatangan Gubernur Jawa Timur (Khofifah Indar Parawansah) beserta Bupati Situbondo (Karna Suswandi) untuk membuka acara Temu Inklusi Nasional ke-5.

Masih ingat tentang Hellen Kelller (1903) yaitu sosok fenomenal difabel netra dan sekaligus difabel rungu yang mendobrak batasan dirinya, menyatakan “Semua manusia yang terlahir memiliki kelebihan masing-masing”. Tokoh advokasi Difabel yang melahirkan autobiografi Story of My Life dan karya The Word I Live yang diterjemahkan ke dalam 50 bahasa yang dicatat dalam perjalanan sejarah.

Dalam Opening Ceremony, Gubernur Jawa Timur (01/08) menyampaikan, “Ini Pesantren merah putih, ini Pesantren yang mengajarkan keseimbangan bagaimana kedalaman agama membarengi dalam proses menjaga Negara Kesatuan Republik Indonesia”. Pungkasnya heroik dan bersemangat.

Sementara itu, jauh-jauh hari sebelumnya KHR. Ahmad Azaim Ibrahimy membakar semangat, “Keterbatasan fisik jangan menjadi penghalang untuk berjuang dan berkhidmah (mengabdi) “. Dalam Pembukaan Temu Inklusi Nasional Ke-5, suami dari Nyai Hj. Nur Sari As’adiyah ini menyampaikan bahwa penting Pondok Pesantren melahirkan Fiqh Difabel melalui kajian mahasantri Ma’had Aly.

Banyak Rekomendasi yang dilahirkan dalam Temu Inklusi ke-5 ini. Di antaranya untuk Presiden Republik Indonesia melalui Gubernur Jawa Timur yang sebelumnya dibaca terlebih dahulu oleh Luluk Ariyantini selaku Ketua PPDis Situbondo, dan Safaruddin selaku Ketua Gema Disabilitas Sumatera. Di antara rekomendasi tersebut yaitu “Agar inklusi difabel sebagai arus utama di semua sektor dicantumkan sebagai bagian dalam RPJPN Menuju Indonesia Emas tahun 2045, yang penjabaran pelaksanaannya diterjemahkan melalui Rencana Aksi Nasional dan Daerah Penyandang Disabilitas.”.

Temu Inklusi Nasional ke-5 memang sudah selesai. Hari ini (03/08) Semua Panitia Nasional sudah persiapan pulang setelah menyelesaikan tugas-tugas finishing. Meskipun peserta dari berbagai Nusantara seperti Sumatera, Jogjakarta, Nusa Tenggara Timur, dan daerah lainnya rata-rata sudah pulang (02/08), namun masih terasa saja aroma Pesantren semerbak pada nilai-nilai kemanusiaan, serta menjadi kisah diskusi kepuasan dan kebahagiaan para difabel dalam perjalanan pulang setelah beberapa hari mengenal Pesantren dalam Temu Inklusi ini. Situasi beberapa Whatsapp Groups masih ramai untuk mengapresiai dan saling berucap terima kasih atas layanan terbaiknya.