Temu Inklusi- “Apa yang sampean bayangkan dari kegiatan Kemah Inklusi?”.

Pertanyaan itu saya julurkan ke pak Rohmanu Solihin di tengah perjalanan kami ke Situbondo yang digelar 17-19 Maret 2023 di halaman desa Olean. Selain saya dan pak Rohmanu juga ada mas Muhammad Ismail, mas Joni Yulianto beserta istri dan anaknya. Kami berangkat dari Yogyakarta sekira pukul 16.00 WIB melalui jalur tol.

“Yang pasti ya ada tenda dan api unggun,” jawab pak Rohmanu, sederhana.

Kemah Inklusi menjadi kegiatan pra even agenda dua tahunan Temu Inklusi ke-5 tahun 2023 di Situbondo yang dipanitiai teman-teman PPDiS. Setelah sebelumnya, Temu Inklusi ke-5 resmi dibuka di aula kantor Bupati Situbondo. Kemah Inklusi diikuti sekira 20 peserta dari berbagai latar belakang dan dari berbagai daerah di Situbondo.

Mbak Luluk Ariyantini, pernah berkata sebelumnya Kemah Inklusi menjadi pembuka untuk memenatik semangat kaum muda di kabupaten Situbondo dalam menyambut Temu Inklusi. Jadi ruang untuk memberikan dasar pemahaman tentang masyarakat yang inklusif dan bagaimana peran kaum muda untuk ikut andil di dalamnya.

Ini adalah perjalanan kami sebagai panitia dari Sasana Inklusi dan Gerakan Advokasi DIfabel (SIGAB) Indonesia yang kesekian kalinya ke Situbondo dalam rangka menyiapkan Temu Inklusi. Sebagaimana perjalanan-perjalanan sebelumnya, pak Rohmanu jadi satu sosok sentral yang senantiasa memecah keheningan di setiap perjalanan.

“Kalau ke Situbondo berasa satu tahun kalau tidak ada pak Rohamnu,” seloroh saya, sembari menyodorkan sebungkus cemilan. Semua orang di dalam mobil terkekeh, termasuk pak Rohmanu.

Perjalanan di malam hari kami lalui tanpa ada kendala yang berarti. Sesekali berhenti di Rest Area untuk makan dan mengisi persediaan untuk melanjutkan perjalanan. Temu Inklusi jadi topik utama obrolan. Mulai dari persiapan, rencana menghadirkan Presiden dan serangkaian even yang akan digelar selama Temu Inklusi berlangsung.

Pukul 2 dini hari, mobil sudah keluar dari pintu tol terakhir dan masuk Kabupaten Situbondo. Saya terjaga ketika mobil melewati jalan yang berlubang.

“Sebentar lagi kita sampai di Olean,” kata Pak Rohmanu.

Mobil sejenak berhenti di depan gapura yang bertuliskan Desa Olean KK-26. Seseorang di luar mobil memberikan arahan untuk terus masuk ke Aula desa Olean. Setibanya di sana, saya sebentar kaget karena pemandangan yang berbeda setelah desa Olean diterjang angin kencang pada bulan sebelumnya. Beberapa bangunan yang berdiri sebelumnya, kini sudah tidak ada.

Pandangan saya kemudian dialihkan dengan satu tenda besar dan lampu-lampu yang terbuat dari botol bekas dan bersumbu. Di sebelahnya berjejer tenda-tenda kecil berwarna-warni. Beberapa orang masih terjaga di depan-depan tenda. Ada juga yang mondar-mandir mengecek kondisi sekitar.

Kami disambut mbak Luluk yang ternyata juga masih terjaga di dalam tenda besar.

“Ini tenda utama untuk panitia dan kegiatan diskusi selama Kemah Inklusi berlangsung,” jelas mbak Luluk.

Di sela itu, mbak Luluk menjelaskan kalau terjangan angin kemarin juga hampir membuat semangat teman-teman di Situbondo juga ikut tumbang. Namun, kabar baik setelah ada informasi bahwa pemerintah setempat secepatnya akan merenovasi dan memperbaiki tempat utama gelaran Temu Inklusi ke-5.

Mendengar itu, Pak Rohamnu terlihat menghela nafas, lega.

Salah seorang panitia menyilahkan kami untuk beristirahat di salah satu rumah berbentuk segitiga di area desa Olean, tak jauh dari tenda utama. Saya memutusakan berkeliling dan memotret aktifitas para peserta Kemah Inklusi.

Di hari kedua, keriuhan terdengar di halaman depan aula KK-26. Para peserta sedang mengikuti sesi outbond. Menjelang malam peserta mengikuti beberapa rangkaian diskusi di tenda utama. Mas Joni, jadi salah satu pengisi materi tentang literasi difabel dan peran anak muda. Setelah sesi terakhir diskusi selesai, kami memutuskan untuk tidak melewatkan sesi yang paling ditunggu, yaitu api unggun sebelum Kembali ke Yogyakarta.

Beberapa panitia menumpuk batang kayu, tak jauh dari tenda utama. Para peserta yang terbagi kedalam beberapa kelompok nampak sedang berlatih menyiapkan satu pertunjukkan. Api unggun, puisi, drama, bernyanyi menjadi oleh-oleh paling berkesan selama mengikuti kegiatan Kemah Inklusi.

Usai itu, kami pamit pulang. “Sampai jumpa di Temu Inklusi”.