Diskusi Tematik 5
Penyandang Disabilitas dan Keadilan Hukum
-
-
Latar Belakang
Lahirnya Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2016 tentang Penyandang Disabilitas yang disusul dengan lahirnya Peraturan Pemerintah Republik Indonesia No. 39 Tahun 2020 tentang Akomodasi yang Layak untuk Penyandang Disabilitas dalam Proses Peradilan merupakan momentum untuk merealisasikan kesetaraan difabel (penyandang disabilitas) di hadapan hukum yang di antaranya dengan diberikannya aksesibilitas dan akomodasi yang layak dalam proses peradilan, mulai dari proses penyidikan dan penyelidikan di Kepolisian, penuntutan di Kejaksaan, persidangan di Pengadilan, dan pelaksanaan putusan pidana di Lembaga Pemasyarakatan.
Momentum ini menjadi penting karena Komunitas Difabel sangat rentan menjadi korban kekerasan, sementara selama ini aturan/prosedur hukumnya belum sepenuhnya menjamin pelaksanaan peradilan yang fair dan aksesibel bagi difabel. Selain rentan sebagai korban, seorang difabel juga mungkin saja menjadi pelaku pelanggaran hukum. Dengan demikian, sangat mungkin bahwa difabel berhadapan dengan hukum, baik sebagai saksi korban, sebagai saksi, dan sebagai pelaku pelanggaran hukum, maupun sebagai para pihak dalam sengketa hukum, karena difabel juga memiliki kedudukan yang sama di hadapan hukum. Berdasarkan catatan Sasana Inklusi dan Gerakan Advokasi Difabel (SIGAB) Indonesia, setiap tahunnya Lembaga ini bersama jaringan advokasi hukumnya rata-rata mendampingi sekitar 20 hingga 30 kasus difabel berhadapan dengan hukum yang tersebar di wilayah Yogyakarta, Mataram, Makassar, Situbondo, dan Jawa Tengah.
Penanganan dan pendampingan kasus-kasus difabel berhadapan dengan hukum tidaklah sederhana karena dalam prosesnya menghadapi berbagai tantangan/persoalan, baik di level internal difabel yang berhadapan dengan hukum, maupun di level eksternal. Bahkan, sistem penanganan dan perlindungan hukum masih sangat jauh dari perspektif peradilan yang fair dan aksesibel bagi difabel. Di level internal difabel menghadapi persoalan :
- Difabel berada pada ranah domestik sedangkan pelaku kekerasan seringkali adalah orang-orang terdekat.
- Difabel berada pada kapasitas sumberdaya yang sangat rendah.
- Difabilitas yang dialami membuat difabel tidak mampu melakukan perlawanan atau menghindar dari kekerasan yang dialami.
Di level eksternal difabel menghadapi kendala-kendala :
- Stereotip, marginalisasi, mitos-mitos, budaya, diskriminasi di berbagai level: keluarga, masyarakat, komunitas dan negara.
- Kebijakan-kebijakan yang mendiskriminasikan difabel, terutama perempuan difabel.
- Kekosongan hukum yang mengatur tentang difabel berhadapan dengan hukum.
- Substansi Hukum yang mendiskriminasikan difabel.
- Prosedur Hukum belum memberikan akses keadilan bagi difabel.
- Tidak adanya Profile Assessment untuk difabel.
- Aksesibilitas bagi difabel di lembaga peradilan dan lembaga layanan terkait hukum dan keadilan belum memadai. Aksesibilitas meliputi : Infrastruktur bangunan, lingkungan, transportasi, dll. Informasi, sikap, layanan, dll. Dan Reasonable accommodation.
- Sistem rujukan dan jaringan penanganan, pendampingan dan pemulihan untuk difabel berhadapan hukum.
- Data dan persoalan difabel berhadapan hukum belum menjadi prioritas dalam gerakan reformasi hukum.
Namun demikian, sesungguhnya Negara Indonesia sebagai negara hukum telah melakukan upaya-upaya pelindungan dan penanganan bagi difabel berhadapan dengan hukum. Salah satunya adalah dengan adanya sejumlah kebijakan untuk memberikan jaminan dan kesetaraan hukum bagi difabel, di antaranya:
- Undang-Undang Dasar 1945 menjamin hak dan perlindungan hukum untuk seluruh Warga Negara Indonesia tanpa terkecuali. Jaminan tersebut tertuang dalam: (a) Pasal 27 ayat (1) yang menyatakan bahwa “Segala warga negara bersamaan kedudukannya di dalam hukum dan pemerintahan, dan wajib menjunjung hukum dan pemerintah, dengan tidak terkecuali.” (b) Pasal 28 D ayat (1) menyatakan bahwa “Setiap orang berhak pengakuan, jaminan, perlindungan, dan kepastian hukum yang adil serta perlakuan yang sama di hadapan hukum”. (c) Pasal 28H ayat (2) menyatakan “Setiap orang berhak untuk menerima fasilitasi dan perlakuan khusus untuk memiliki kesempatan yang sama dan manfaat dalam rangka mencapai kesetaraan dan keadilan.” (d) Pasal 28I ayat (2) menyatakan “Setiap orang berhak bebas dari perlakuan yang bersifat diskriminatif atas dasar apa pun dan berhak mendapatkan perlindungan terhadap perlakuan yang bersifat diskriminatif itu.”
- Undang-Undang No. 19 tahun 2011 tentang Ratifikasi Konvensi Internasional Hak-Hak Penyandang Disabilitas (UNCRPD). (1) Pasal 12 tentang Kesetaraan Pengakuan di Hadapan Hukum. (2) Pasal 13 tentang Akses terhadap Keadilan.
- Undang-Undang No. 8 Tahun 2016 tentang Penyandang Disabilitas pada Bab Keadilan dan Perlindungan Hukum Pasal 28 s.d Pasal 39.
- Peraturan Pemerintah Republik Indonesia No. 39 Tahun 2020 tentang Akomodasi yang Layak Untuk Penyandang Disabilitas dalam Proses Peradilan.
- Surat Edaran Direktorat Jenderal Badan Peradilan Agama (SE Dirjen Badilag) Nomor 23L.a/DiA/HM.00/ll/2012 tentang Perhatian Kepada Penyandang Disabilitas
- Surat Keputusan Direktur Jenderal Badan Peradilan Umum Nomor 77/DJU/SK/HM02.3/2/2018 tentang PTSP (Pelayanan Terpadu Satu Pintu) harus didesain untuk penyandang disabilitas.
- Pedoman Kejaksaan Agung No.2 tahun 2023 tentang Akomodasi Yang Layak dan Penanganan Perkara yang Aksesibel dan Inklusif bagi Penyandang Disabilitas Dalam Proses Peradilan.
Berkaitan dengan hal tersebut di atas, Sasana Inklusi dan Gerakan Advokasi Difabel (SIGAB) Indonesia bekerja sama dengan AIPJ2 (Australia-Indonesia Partnership for Justice 2) akan menyelenggarakan diskusi tematik tentang “Penyandang Disabilitas dan Keadilan Hukum”. Diskusi tematik ini merupakan bagian dari Temu Inklusi Nasional #5 yang dilaksanakan di Situbondo Jawa Timur.
Diskusi ini akan menguraikan pengalaman pendampingan dan penanganan kasus-kasus difabel berhadapan dengan hukum serta praktik baik dalam pewujudan peradilan inklusif di Indonesia. Diskusi juga akan menggali masukan dari peserta terkait komponen dan prasyarat peradilan inklusif di Indonesia. Hasil akhir dari diskusi akan dinarasikan menjadi indikator peradilan inklusif dan direkomendasi menjadi panduan peradilan inklusif di Indonesia.
Tujuan
- Peta Kerentanan penyandang disabilitas korban kekerasan dan ketidakadilan.
- Strategi penegakan hukum untuk kasus kasus penyandang disabilitas berhadapan hukum.
Output
- Rumusan rekomendasi tentang implementasi peradilan inklusif.
- Kesepakatan implementasi peradilan inklusif.
-
1 Agustus 2023
Narasumber:
- Kapolres Situbondo “Praktek Penanganan Kasus Difabel Berhadapan Hukum di Wilayah Peradilan Situbondo”.
- Kejaksaan Negeri Situbondo dengan Tema “Strategi Penanganan Kasus Difabel Berhadapan Hukum di Kejaksaan Negri Wilayah Peradilan Situbondo”.
- Pengadilan Negeri Situbondo dengan Tema “Peradilan Inklusif di Wilayah Peradilan Situbondo”.
- PPDIS Situbondo, dengan tema “Peta Penyandang Disabilitas Korban Kekerasan di Situbondo”.
Moderator: Marlutfhi Yohandinas
Komplek Kampus Universitas Ibrahimy